Kamis, 28 November 2013

REVITALISASI INSTANSI PENEGAKAN HUKUM, MENJEMPUT KEMBALI TANGAN TUHAN (rekonstruksi para pengadil instansi negara)

“Tikus tak pernah jalan sendiri”.
Bagaimana menyelamatkan Instansi penegakan hukum dan menstimulasinya.

Pendahuluan
Pemerintah pada dasarnya mempunyai peran aktif dalam menyelenggarakan negara untuk mencapai kesejahteraan masyarakat, khususnya terhadap problematika yang dihadapi Indonesia, pemerintah harus mampu mengatasi dan memberikan penyelesaian atau solusi sehingga dapat mengatasi permasalahan yang dihadapi. Korupsi merupakan salah satu tugas wajib pemerintah untuk menyelesaikan dan mengatasi agar orientasi memperkaya diri yang dilakukan oleh aparatur negara dapat diminimalisir bahkan di hilangkan.
Institusi, sebagai  lembaga atau  sesuatu yang dilem-bagakan oleh undang-undang, adat atau kebiasaan (seperti perkumpulan, paguyuban, organisasi sosial dan diartikan pula sebagai gedung tempat diselenggarakannya kegiatan perkumpulan atau organisasi memiliki peranan penting dalam penegakan hukum, dimana kasus-kasus hukum yang kini kian marak bahkan menjamur dikalangan pejabat negara.
Intsitusi penegakan hukum yang ada di Indonesia sendiri seperti halnya Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Pengadilan merupakan lembaga yang berwenang dalam menangani pemberantasan kasus korupsi. Dari ke empat lembaga ini KPK memiliki peran khusus dalam memberantas kasus korupsi, KPK harus lebih memiliki nilai dan integritas yang tinggi sehingga wewenang yang telah diberikan berdasarkan ketentuannya dapat dijalankan dan diimplementasikan dengan baik. Dari ke empat lembaga tersebut dapat juga dimungkinkan adanya pihak-pihak tertentu akan terlibat dalam kasus korupsi, karena perlu kita ketahui bahwa korupsi itu bukan personal tetapi corporation atau kelompok, kecil kemungkinan bahwa korupsi hanya di lakukan oleh seorang saja, pasti ada pihak-pihak lain yang terlibat dalam kasus korupsi untuk memperlancar urusan yang menyimpang dari ketentuan.

Tujuan dibentuknnya KPK tidak lain adalah meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK dibentuk karena institusi (Kepolisian, Kejaksaan, Peradilan, Partai Politik dan Parlemen) yang seharusnya mencegah korupsi tidak berjalan bahkan larut dan terbuai dalam korupsi. Pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi sampai sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal. Oleh karena itu pemberantasan korupsi perlu ditingkatkan secara professional, intensif, dan berkesinambungan. Karena korupsi telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional. Begitu parahnya maka korupsi di Indonesia sudah dikategorikan sebagai tindak pidana luar biasa atau extra ordinary crime
Dalam hal ini Indonesia harus memiliki langkap sigap dan cerdas bagaimana menangani serta menanggapi hal tersebut diatas, dimana kasus yang telah terjadi akhir-akhir ini justru telah merusak citra bangsa sebagai bangsa yang menjunjung nilai serta martabat yang tinggi.

Profesionalisme Penegak Hukum
 Profesionalitas penegak hukum di negeri ini seolah berada pada titik nadir. Mewabahnya judicial corruption membuat hal ini menjadi aktual dan relevan. Penegak hukum didengungkan sebagai profesi luhur (honorable profession), namun di sisi lain diperburuk citranya dengan perilaku koruptif penyandang profesi tersebut. Jual beli perkara tidak lagi dipandang aneh, apalagi buruk, tetapi dianggap wajar. Semua menjadi pertanda, bahwa berbagai peraturan hukum yang secara normatif mengatur seluruh proses peradilan akhirnya tak berdaya mengatasi judicial corruption. Sebagai nilai yang menjadi jiwa (core value) hukum, keadilan tidak benar-benar diperjuangkan. Oleh kebanyakan penegak hukum, profesi penegak hukum direduksi menjadi sekadar pekerjaan guna mendapat materi. Pemahaman seperti itu mengabaikan dimensi pelayanan sebagai unsur esensial profesi itu. Para profesional penegak hukum lupa, profesi adalah peran sosial yang eksistensi dan fungsinya tergantung pelayanan yang fair atas kepentingan masyarakat. Dan profesionalisme aparat penegak hukum yang dipertanyakan sekarang ini disebabkan karena lunturnya makna sebuah kode etik profesi hukum yang seharusnya menjadi pedoman dalam berprofesi. Kode etik profesi memunculkan kesetiaan dan pengabdian pada pekerjaan dari profesi yang dijalani, yang berkaitan dengan profesionalitas dan kehormatan dirinya

Penegakan hukum di Indonesia saat ini sangatlah jauh dari konsep negara hukum (rechtsstaat) dimana idealnya hukum merupakan yang utama, diatas politik dan ekonomi. Suburnya judicial corruption dalam proses peradilan ini yang mengakibatkan hancurnya sistem hukum dan lembaga peradilan menjadi tercemar karena keacuhan aparat penegak hukum akan penegakan hukum yang efektif, serta rendahnya kualitas sumber daya manusia baik secara intelektualitas maupun spiritual, birokrasi peradilan yang berjenjang, pengawasan internal yang sangat lemah, dan rendahnya integritas pimpinan lembaga penegak hukum menjadi sebab terpuruknya penegakan hukum di Indonesia. Dapat dilihat dalam pelaksanaannya di pengadilan, hakim melakukan penyelewengan berupa penyelesaian perkara yang tidak adil dan juga menghasilkan putusan-putusan yang dapat diintervensi. Hal tersebut bisa muncul karena adanya faktor-faktor penyebab antara lain seperti: gaji hakim yang kecil, minimnya kesejahteraan sosial, tekanan dari kekuasaan yang lebih tinggi, intervensi politik dan ekonomi, dan juga berhubungan dengan integritas hakim itu sendiri. Selain itu banyak terjadi pelanggaran profesi yang dilakukan oleh oknum aparat para penegak hukum. Selain pelanggaran-pelanggaran profesi yang dilakukan oleh oknum aparat penegak hukum tersebut, maraknya praktik judicial corruption yang terjadi di Indonesia juga sudah lama menjadi keprihatinan di Indonesia. Istilah judicial corruption juga sering disamakan dengan mafia peradilan. Mafia peradilan merupakan suatu pola atau struktur yang berproses yang memungkinkan oknum yang terlibat melakukan jual beli perkara secara terorganisir. Mafia peradilan dapat terjadi karena sistem dan budaya penegakan hukum yang dijalankan oleh para penegak hukum memberikan peluang untuk diselewengkan. Hukum dan keadilan tidak berjalan sebagaimana mestinya serta dapat diperdagangkan seperti ‘komoditas’. Mafia peradilan di Indonesia telah mencapai tingkat parah dan hampir mematikan lembaga peradilan itu sendiri.

Kerjasama Yang Baik antar Penegak Hukum
Kerjasama  merupakan pekerjaan yang biasanya dikerjakan oleh individu tapi dikerjakan secara bersamaan oleh dua orang atau lebih dengan tujuan agar pekerjaan tersebut menjadi lebih ringan Wujud dari kerjasama bisa merupakan kerja kelompok ataupun kerja yang mencakup skala luas misalnya kerjasama antar organisasi atau kerjasama antar negara (kerjasama internasional). Dengan menerapkan konsep kerjasama maka kita akan mendapatkan kemudahan dalam menyelesaikan pekerjaan yang berat atau membutuhkan kekuatan kelompok.
Dengan demikian institusi penegak hukum yang ada di indonesia sendiri dinilai perlu bahkan harus. Untuk menjalin adanya ikatan kerjasama yang begitu erat, dimana satu bagian bisa menguat dan membantu bagian yang lain dengan harapan bahwa satu kasus yang terjadi bisa diselesaikan bersama dengan cara adanya tujuan yang sama yaitu untuk negara kita Indonesia, bukan lagi tentang masing-masing institusi yang saling menjatuhkan atau berebut nama agar dikenal publik dengan coretan prestasi emas namun mengesampingkan apa yang seharusnya bisa dikerjakan bersama, hal inilah yang perlu dimaksimalkan, baik dalam satu badan institusi ataupun antar institusi yang ada
Namun fakta yang terjadi di masyarakat sendiri adalah adanya kasus yang memberikan kesan dimana instansi-instansi yang ada justru terlibat dalam bebebrpa kasus yang sempat mencoreng nama baik Instansi tersebut dimata masyarakat umum, hal ini justru menjadikan kasus-kasus yang ada sebagai Kontra faktual dimana harapan yang ada justru tidak sesuai dengan keadaan yang terjadi di lapangan.
Proses kerjasama atau hubungan integrasi yang baik adalah modal awal bagaimana menjalani sebuah visi dan misi dalam ranah instansi, dengan adanya kerjasama yang baik ini diharapkan mampu memeberikan image yang baik dalam kinerja yang dijalankan, namun hal ini terkait pula hubungan antar individu dalam sebuah instansi tersebut  yang sequential: saling mengandaikan dan mengunci, dimana setiap individu bisa berpengaruh pada individu yang lain, dalam artian kualitas SDM yang ada dalam sebuah instansi merupakan tolak ukur dari kinerjanya. Jadi setiap person  yang ada dalam sebuah instansi tidak luput dari bagaimana implementasinya dalam bekerja dan menjalani pengabdiannya  untuk negara. Hal ini tentu dipengaruhi oleh beberapa hal dalam kinerja tugasnya, keuletan akademik serta kelihaian Intelektual yang dimiliki bukanlah menjadi jaminan utama yang harus dimiliki, namun perlu komposisi tambahan berupa keagungan akhlaq yang dimiliki, dengan begitu SDM yang ada di setiap instansi tersebut memiliki benteng diri serta mengerti bagaimana seharusnya bersikap serta menjaga harga dirinya baik itu di mata manusia maupun dihadapan Tuhan.

Transparansi Kasus Penegakan Hukum
            Banyaknya kasus yang terjadi dalam putusan yang dilakukan oleh Instansi penegak hukum ternyata memiliki banyak fakta yang sangat kontradiktif dengan sebuah keadilan, konsep “kebersihan” serta peradilan yan berwibawa, dimana banyak kasus yang dinilai memiliki kecurangan serta cacat hukum, tidak hanya itu, hal ini terbukti dengan banyaknya kasus yang telah ditangani oleh Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai instansi tertinggi negara, bahkan MK sempat mendapat julukan sebagai “Mahkamah dibawah tangan Tuhan namun hal itu kini seakan menjadi istilah yang kian menjauh atau bahkan  hilang, tapi bukan berarti hal ini tidak bisa diperbaiki, negara mampu mengatasi, memperbaiki serta merevitalisasi hal tersebut dengan upaya, kerjasama serta Profesionalisme yang ada.

Kesimpulan

            Dalam beberapa kasus yang telah kita ikuti bahwa banyak pelanggaran hukum yang telah dilanggar oleh para penegak hukum itu sendiri, para penegak hukum yang dianggap telah memiliki profesionalisme yang tinggi, intelektualitas serta akademis yang lihai juga kepribadian yang dapat dipercaya, ternyata tidak semuanya benar, contoh kasus yang dialami Instansi tinggi negara yaitu di mahkamah konstitusi (MK) dimana Akil Muhktar sebagai tersangka utama kini telah mencoreng nama baik instansi tertinggi negara Indonesia. Kepribadian seorang Akil yang dianggap “Pantas” untuk menduduki jabatan ketua MK ternyata salah alamat, Sepertinya kepribadian seorang hakim seperti Akil Mukhtar dan hakim-hakim yang lainnya perlu dikonstruk atau dirombak ulang, dimana perlu adalanya beberapa “formula” tambahan tentang, intelektual dan akademik yang teruji, Kematangan profesionalisme yang terbukti serta keagungan akhlaq dan kedalaman spiritual yang dimilikinya, dengan begitu akan lahir sosok hakim yang diidamkan bersama (Dream Figure) yang memiliki satu kesatuan yang baik (A good unity), dengan begitu terjalinlah kerjasama yang begitu kooperatif serta respon yang baik antar personal maupun instansi, sehingga semua kasus begitu jelas dan transparan tanpa adanya “Bisik-bisik pelicin” di balik layar, serta akan terlahir instansi yang begitu efektif, pengadilan yang bersih, bernartabat, berwibawa serta berkeadilan.

*Dipresentasikan pada lomba  Essay Hukum Nasional, Gebyar Pekan Hukum Syariah 2013, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, 19 November 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar