“Tikus tak
pernah jalan sendiri”.
Bagaimana
menyelamatkan Instansi penegakan hukum dan menstimulasinya.
Pendahuluan
Pemerintah pada dasarnya mempunyai
peran aktif dalam menyelenggarakan negara untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat, khususnya terhadap problematika yang dihadapi Indonesia, pemerintah
harus mampu mengatasi dan memberikan penyelesaian atau solusi sehingga dapat
mengatasi permasalahan yang dihadapi. Korupsi merupakan salah satu tugas wajib
pemerintah untuk menyelesaikan dan mengatasi agar orientasi memperkaya diri
yang dilakukan oleh aparatur negara dapat diminimalisir bahkan di hilangkan.
Institusi,
sebagai lembaga atau sesuatu
yang dilem-bagakan oleh undang-undang, adat atau kebiasaan (seperti
perkumpulan, paguyuban, organisasi sosial dan diartikan pula sebagai gedung tempat diselenggarakannya kegiatan
perkumpulan atau organisasi memiliki peranan penting dalam penegakan hukum,
dimana kasus-kasus hukum yang kini kian marak bahkan menjamur dikalangan
pejabat negara.
Intsitusi penegakan hukum yang ada di Indonesia sendiri seperti
halnya Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan
Pengadilan merupakan lembaga yang berwenang dalam menangani pemberantasan kasus
korupsi. Dari ke empat lembaga ini KPK memiliki peran khusus dalam memberantas
kasus korupsi, KPK harus lebih memiliki nilai dan integritas yang tinggi
sehingga wewenang yang telah diberikan berdasarkan ketentuannya dapat
dijalankan dan diimplementasikan dengan baik. Dari ke empat lembaga tersebut
dapat juga dimungkinkan adanya pihak-pihak tertentu akan terlibat dalam kasus
korupsi, karena perlu kita ketahui bahwa korupsi itu bukan personal
tetapi corporation atau kelompok, kecil kemungkinan bahwa
korupsi hanya di lakukan oleh seorang saja, pasti ada pihak-pihak lain yang
terlibat dalam kasus korupsi untuk memperlancar urusan yang menyimpang dari
ketentuan.
Tujuan dibentuknnya KPK tidak lain
adalah meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan
tindak pidana korupsi. KPK dibentuk karena institusi (Kepolisian, Kejaksaan,
Peradilan, Partai Politik dan Parlemen) yang seharusnya mencegah korupsi tidak
berjalan bahkan larut dan terbuai dalam korupsi. Pemberantasan tindak pidana
korupsi yang terjadi sampai sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal.
Oleh karena itu pemberantasan korupsi perlu ditingkatkan secara professional,
intensif, dan berkesinambungan. Karena korupsi telah merugikan keuangan negara,
perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional. Begitu parahnya maka
korupsi di Indonesia sudah dikategorikan sebagai tindak pidana luar biasa
atau extra ordinary crime
Dalam hal ini Indonesia harus
memiliki langkap sigap dan cerdas bagaimana menangani serta menanggapi hal
tersebut diatas, dimana kasus yang telah terjadi akhir-akhir ini justru telah
merusak citra bangsa sebagai bangsa yang menjunjung nilai serta martabat yang
tinggi.
Profesionalisme Penegak Hukum
Profesionalitas penegak hukum di negeri ini
seolah berada pada titik nadir. Mewabahnya judicial corruption membuat
hal ini menjadi aktual dan relevan. Penegak hukum didengungkan sebagai profesi
luhur (honorable profession), namun di sisi lain diperburuk citranya
dengan perilaku koruptif penyandang profesi tersebut. Jual beli perkara tidak
lagi dipandang aneh, apalagi buruk, tetapi dianggap wajar. Semua menjadi pertanda,
bahwa berbagai peraturan hukum yang secara normatif mengatur seluruh proses
peradilan akhirnya tak berdaya mengatasi judicial corruption. Sebagai
nilai yang menjadi jiwa (core value) hukum, keadilan tidak benar-benar
diperjuangkan. Oleh kebanyakan penegak hukum, profesi penegak hukum direduksi
menjadi sekadar pekerjaan guna mendapat materi. Pemahaman seperti itu
mengabaikan dimensi pelayanan sebagai unsur esensial profesi itu. Para
profesional penegak hukum lupa, profesi adalah peran sosial yang eksistensi dan
fungsinya tergantung pelayanan yang fair atas kepentingan masyarakat.
Dan profesionalisme aparat penegak hukum yang dipertanyakan sekarang ini
disebabkan karena lunturnya makna sebuah kode etik profesi hukum yang
seharusnya menjadi pedoman dalam berprofesi. Kode etik profesi memunculkan
kesetiaan dan pengabdian pada pekerjaan dari profesi yang dijalani, yang
berkaitan dengan profesionalitas dan kehormatan dirinya
Penegakan hukum di Indonesia saat
ini sangatlah jauh dari konsep negara hukum (rechtsstaat) dimana
idealnya hukum merupakan yang utama, diatas politik dan ekonomi. Suburnya judicial
corruption dalam proses peradilan ini yang mengakibatkan hancurnya sistem
hukum dan lembaga peradilan menjadi tercemar karena keacuhan aparat penegak hukum
akan penegakan hukum yang efektif, serta rendahnya kualitas sumber daya manusia
baik secara intelektualitas maupun spiritual, birokrasi peradilan yang
berjenjang, pengawasan internal yang sangat lemah, dan rendahnya integritas
pimpinan lembaga penegak hukum menjadi sebab terpuruknya penegakan hukum di
Indonesia. Dapat dilihat dalam pelaksanaannya di pengadilan, hakim melakukan
penyelewengan berupa penyelesaian perkara yang tidak adil dan juga menghasilkan
putusan-putusan yang dapat diintervensi. Hal tersebut bisa muncul karena adanya
faktor-faktor penyebab antara lain seperti: gaji hakim yang kecil, minimnya
kesejahteraan sosial, tekanan dari kekuasaan yang lebih tinggi, intervensi
politik dan ekonomi, dan juga berhubungan dengan integritas hakim itu sendiri.
Selain itu banyak terjadi pelanggaran profesi yang dilakukan oleh oknum aparat
para penegak hukum. Selain pelanggaran-pelanggaran profesi yang dilakukan oleh
oknum aparat penegak hukum tersebut, maraknya praktik judicial corruption yang
terjadi di Indonesia juga sudah lama menjadi keprihatinan di Indonesia. Istilah
judicial corruption juga sering disamakan dengan mafia peradilan. Mafia
peradilan merupakan suatu pola atau struktur yang berproses yang memungkinkan
oknum yang terlibat melakukan jual beli perkara secara terorganisir. Mafia
peradilan dapat terjadi karena sistem dan budaya penegakan hukum yang
dijalankan oleh para penegak hukum memberikan peluang untuk diselewengkan.
Hukum dan keadilan tidak berjalan sebagaimana mestinya serta dapat diperdagangkan
seperti ‘komoditas’. Mafia peradilan di Indonesia telah mencapai tingkat parah
dan hampir mematikan lembaga peradilan itu sendiri.
Kerjasama Yang Baik antar Penegak Hukum
Kerjasama
merupakan pekerjaan yang biasanya dikerjakan oleh individu tapi
dikerjakan secara bersamaan oleh dua orang atau lebih dengan tujuan agar
pekerjaan tersebut menjadi lebih ringan Wujud dari kerjasama bisa merupakan
kerja kelompok ataupun kerja yang mencakup skala luas misalnya kerjasama antar
organisasi atau kerjasama antar negara (kerjasama internasional). Dengan
menerapkan konsep kerjasama maka kita akan mendapatkan kemudahan dalam
menyelesaikan pekerjaan yang berat atau membutuhkan kekuatan kelompok.
Dengan
demikian institusi penegak hukum yang ada di indonesia sendiri dinilai perlu
bahkan harus. Untuk menjalin adanya ikatan kerjasama yang begitu erat, dimana
satu bagian bisa menguat dan membantu bagian yang lain dengan harapan bahwa
satu kasus yang terjadi bisa diselesaikan bersama dengan cara adanya tujuan
yang sama yaitu untuk negara kita Indonesia, bukan lagi tentang masing-masing
institusi yang saling menjatuhkan atau berebut nama agar dikenal publik dengan
coretan prestasi emas namun mengesampingkan apa yang seharusnya bisa dikerjakan
bersama, hal inilah yang perlu dimaksimalkan, baik dalam satu badan institusi
ataupun antar institusi yang ada
Namun fakta yang terjadi di
masyarakat sendiri adalah adanya kasus yang memberikan kesan dimana
instansi-instansi yang ada justru terlibat dalam bebebrpa kasus yang sempat
mencoreng nama baik Instansi tersebut dimata masyarakat umum, hal ini justru
menjadikan kasus-kasus yang ada sebagai Kontra faktual dimana harapan yang ada
justru tidak sesuai dengan keadaan yang terjadi di lapangan.
Proses kerjasama atau hubungan
integrasi yang baik adalah modal awal bagaimana menjalani sebuah visi dan misi
dalam ranah instansi, dengan adanya kerjasama yang baik ini diharapkan mampu
memeberikan image yang baik dalam kinerja yang dijalankan, namun hal ini
terkait pula hubungan antar individu dalam sebuah instansi tersebut yang sequential: saling mengandaikan
dan mengunci, dimana setiap individu bisa berpengaruh pada individu yang lain,
dalam artian kualitas SDM yang ada dalam sebuah instansi merupakan tolak ukur
dari kinerjanya. Jadi setiap person yang ada dalam sebuah instansi tidak luput
dari bagaimana implementasinya dalam bekerja dan menjalani pengabdiannya untuk negara. Hal ini tentu dipengaruhi oleh
beberapa hal dalam kinerja tugasnya, keuletan akademik serta kelihaian
Intelektual yang dimiliki bukanlah menjadi jaminan utama yang harus dimiliki,
namun perlu komposisi tambahan berupa keagungan akhlaq yang dimiliki, dengan
begitu SDM yang ada di setiap instansi tersebut memiliki benteng diri serta mengerti
bagaimana seharusnya bersikap serta menjaga harga dirinya baik itu di mata manusia
maupun dihadapan Tuhan.
Transparansi Kasus Penegakan Hukum
Banyaknya kasus yang terjadi dalam putusan yang dilakukan oleh
Instansi penegak hukum ternyata memiliki banyak fakta yang sangat kontradiktif
dengan sebuah keadilan, konsep “kebersihan” serta peradilan yan berwibawa,
dimana banyak kasus yang dinilai memiliki kecurangan serta cacat hukum, tidak
hanya itu, hal ini terbukti dengan banyaknya kasus yang telah ditangani oleh
Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai instansi tertinggi negara, bahkan MK sempat
mendapat julukan sebagai “Mahkamah dibawah tangan Tuhan namun hal itu
kini seakan menjadi istilah yang kian menjauh atau bahkan hilang, tapi bukan berarti hal ini tidak bisa
diperbaiki, negara mampu mengatasi, memperbaiki serta merevitalisasi hal
tersebut dengan upaya, kerjasama serta Profesionalisme yang ada.
Kesimpulan
Dalam beberapa kasus yang telah kita ikuti bahwa banyak pelanggaran
hukum yang telah dilanggar oleh para penegak hukum itu sendiri, para penegak
hukum yang dianggap telah memiliki profesionalisme yang tinggi, intelektualitas
serta akademis yang lihai juga kepribadian yang dapat dipercaya, ternyata tidak
semuanya benar, contoh kasus yang dialami Instansi tinggi negara yaitu di
mahkamah konstitusi (MK) dimana Akil Muhktar sebagai tersangka utama kini telah
mencoreng nama baik instansi tertinggi negara Indonesia. Kepribadian seorang
Akil yang dianggap “Pantas” untuk menduduki jabatan ketua MK ternyata salah
alamat, Sepertinya kepribadian seorang hakim seperti Akil Mukhtar dan
hakim-hakim yang lainnya perlu dikonstruk atau dirombak ulang, dimana perlu
adalanya beberapa “formula” tambahan tentang, intelektual dan akademik
yang teruji, Kematangan profesionalisme yang terbukti serta keagungan akhlaq dan
kedalaman spiritual yang dimilikinya, dengan begitu akan lahir sosok hakim yang
diidamkan bersama (Dream Figure) yang memiliki satu kesatuan yang baik (A
good unity), dengan begitu terjalinlah kerjasama yang begitu kooperatif
serta respon yang baik antar personal maupun instansi, sehingga semua kasus
begitu jelas dan transparan tanpa adanya “Bisik-bisik pelicin” di balik layar,
serta akan terlahir instansi yang begitu efektif, pengadilan yang bersih,
bernartabat, berwibawa serta berkeadilan.
*Dipresentasikan pada lomba Essay Hukum Nasional, Gebyar Pekan Hukum Syariah 2013, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, 19 November 2013.
*Dipresentasikan pada lomba Essay Hukum Nasional, Gebyar Pekan Hukum Syariah 2013, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, 19 November 2013.
.jpg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar