Jangan keliru, yang namanya penjajah tidak harus mereka yang
dari luar ingin merampas negara lain. Pribumi sendiripun adalah penjajah jika
mereka tidak mampu memahami negaranya sendiri dan lebih membanggakan negara
lain. Menyalah artikan makna ideologi yang dianut, dan berlatar belakang
perbedaan prinsip menyebabkan sebuah perpecahan seperti ‘lautan’, dia bukan
pemisah melainkan pemersatu bangsa. Sekilas itulah pandangan global tentang
negara yang satu ini; negara yang kaya akan keanekaragaman budaya, alam dan
bahasa layaknya tanah surga; katanya. Masyarakat yang heterogen cukup
mewakilkan keberanekaragaman perspektif dan ideologi, tapi itulah Indonesia
yang saya banggakan dapat bersatu dengan bahasa Indonesia seperti air laut yang
menyambungkan pulau-pulau; Bhineka tunggal ika. Indonesia sebagai negara yang
memutuskan menganut paham demokrasi dalam memimpin. Meski berbeda dengan negara
demokrasi lainnya yang menganut liberalism, Indonesia pun adalah negara
republik pemersatu. Itulah sebabnya mengapa demokrasi di Indonesia berbeda
dengan negara bebas lainnya karena Indonesia memiliki landasan terhebat sebagai
filosofis agung; Pancasila. Keberanekaragaman yang dilandaskan atas negara
republik dengan sistem demokrasi dan landasan pancasila mampu mewujidkan
Indonesia sebagai negara republik karena bersepakat untuk menyatukan keberanekaragaman
tersebut dimana hampir 18 ribu pulau dengan beribu-ribu suku bangsa dan bahasa
di Indonesia ada. Dan inilah keunikan Indonesia, yang demi bangsa dan negaranya
bersepakat memakai bahasa Indonesia; karena Pancasila. Pancasila merupakan
bentuk usaha para pejuang dimana proklamasi belum sepenuhnya mampu membebaskan
Indonesia dari penjajahan yang dibuktikan dengan catatan sejarah tentang
peristiwa-peristiwa yang datang kemudian hari. Pancasila terlahir atas
musyawarah, mufakat kebersamaan untuk mengedepankan kepentingan anak bangsa
oleh anak bangsa dan untuk anak bangsa dikemudian hari. Lima butir pilar inilah
yang kemudian mencetak misi dan visi Indonesia kemudian yang berketuhanan yang
Maha Esa, kerayakyatan yang adil dan beradap, persatuan Indonesia, kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Belum lagi jika kita melihat
lima lambang dalam Pancasila seperti rantai yang menggambarkan ukhuwah dalam
Islam dan persatuan dalam negara.
Ahmad
Syafi`i Ma`arif, Dalam “Islam
dan Pancasila Sebagai Dasar Negara; Studi tentang Perdebatan dalam Konstituante’’; Umat Islam Indonesia, tak bisa
ditepis memang memiliki idealisme tentang Indonesia yang islam serta Indonesia
yang “Madani”. Sayang, sebagian besar dari mereka di mata Syafi`i masih
kekurangan visi yang cukup dan kemampuan intelektual dalam memahami jiwanya
yang dinamik dan kreatif. Tetapi –sekali pun tak berhasil— perjuangan umat
Islam Indonesia dalam menegakkan dasar Islam di sidang Majelis Konstituante
tahun 1950-an, adalah bagian dari upaya membumikan Islam cita-cita dalam
konteks politik kenegaraan sebagaimana yang dipahami wakil partai Islam.
Selain merujuk kehidupan zaman nabi, wakil partai Islam
merujuk teori politik Islam sebagaimana yang digagas Jamal ad-Din al-Afghani,
Abduh, Rasyid Ridha, dan lain-lain. Dari modernisme Islam yang diwariskan para
pendahulu itu, wakil-wakil Islam seperti Tjokroaminoto, Agus Salim, Sukiman dan
Natsir hendak membangun pilar Islam sebagai dasar negara di bumi Indonesia.
Islam adalah agama
damai dan universal kekal akhir zaman. Ajarannya fleksibel dan sesuai dengan
keadaan kaumnya tanpa mengubah syariah dan ketetapan hukum ‘pasti’. Dalam
Islam, manusia sebagai ciptaan yang paling sempurna akan menjadi insan kamil
jika dia mampu menjadi manusia yang tenang, dengan selalu mengingat Tuhannya.
Ini sesuai dengan sila pertama dimana masyarakat memiliki Tuhan yang Esa yang
dianutnya yang kemudian mampu melahirkan manusia-manusia yang senantiasa
menciptakan keadilan dan kepedulian terhadap sekitar. Pun dengan musyawarah dan
mufakat yang ada dalam demokrasi dimana setiap masyarakat berhak mengeluarkan
pendaptnya. Nilai-nilai ini tertanam kuat dalam Islam jauh sebelum republik
Indonesia berdiri dan Pancasila dimusyawarahkan. Maka tak ada wajah lain dalam
negara Indonesia sebagai pohon keluarga sebagaimana penuturan Dr. Hamid Fahmy
Zarkasyi dalam “Hubungan Islam dan Negera Pancasila di Era Reformasi : Suatu
Tinjauan Kritis”; pancasila sebagai anaknya dan Islam sebagai ibunya dimana
demokrasi di Indonesia tidak bisa disamakan dengan demokrasi negara bebas
lainnya karena Islam mempunyai aturan tersendiri.*Disampaikan pada presentasi lomba Essay hukum Fakultas Syariah UIN Maliki Malang 12 Nopember 2012

wow.. keren... subhanallah ustad!!
BalasHapussemangat ya...