Jumat, 15 Maret 2013

Islam, Negara dan Pancasila (reformulasi konsep negara perspektif Islam dan pancasila) Negara adalah pohon keluarga antara Pancasila sebagai anak, dan Islam sebagai ‘Madrasah al ula’.



Jangan keliru, yang namanya penjajah tidak harus mereka yang dari luar ingin merampas negara lain. Pribumi sendiripun adalah penjajah jika mereka tidak mampu memahami negaranya sendiri dan lebih membanggakan negara lain. Menyalah artikan makna ideologi yang dianut, dan berlatar belakang perbedaan prinsip menyebabkan sebuah perpecahan seperti ‘lautan’, dia bukan pemisah melainkan pemersatu bangsa. Sekilas itulah pandangan global tentang negara yang satu ini; negara yang kaya akan keanekaragaman budaya, alam dan bahasa layaknya tanah surga; katanya. Masyarakat yang heterogen cukup mewakilkan keberanekaragaman perspektif dan ideologi, tapi itulah Indonesia yang saya banggakan dapat bersatu dengan bahasa Indonesia seperti air laut yang menyambungkan pulau-pulau; Bhineka tunggal ika. Indonesia sebagai negara yang memutuskan menganut paham demokrasi dalam memimpin. Meski berbeda dengan negara demokrasi lainnya yang menganut liberalism, Indonesia pun adalah negara republik pemersatu. Itulah sebabnya mengapa demokrasi di Indonesia berbeda dengan negara bebas lainnya karena Indonesia memiliki landasan terhebat sebagai filosofis agung; Pancasila. Keberanekaragaman yang dilandaskan atas negara republik dengan sistem demokrasi dan landasan pancasila mampu mewujidkan Indonesia sebagai negara republik karena bersepakat untuk menyatukan keberanekaragaman tersebut dimana hampir 18 ribu pulau dengan beribu-ribu suku bangsa dan bahasa di Indonesia ada. Dan inilah keunikan Indonesia, yang demi bangsa dan negaranya bersepakat memakai bahasa Indonesia; karena Pancasila. Pancasila merupakan bentuk usaha para pejuang dimana proklamasi belum sepenuhnya mampu membebaskan Indonesia dari penjajahan yang dibuktikan dengan catatan sejarah tentang peristiwa-peristiwa yang datang kemudian hari. Pancasila terlahir atas musyawarah, mufakat kebersamaan untuk mengedepankan kepentingan anak bangsa oleh anak bangsa dan untuk anak bangsa dikemudian hari. Lima butir pilar inilah yang kemudian mencetak misi dan visi Indonesia kemudian yang berketuhanan yang Maha Esa, kerayakyatan yang adil dan beradap, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Belum lagi jika kita melihat lima lambang dalam Pancasila seperti rantai yang menggambarkan ukhuwah dalam Islam dan persatuan dalam negara.
Ahmad Syafi`i Ma`arif, Dalam “Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara; Studi tentang Perdebatan dalam Konstituante’’; Umat Islam Indonesia, tak bisa ditepis memang memiliki idealisme tentang Indonesia yang islam serta Indonesia yang “Madani”. Sayang, sebagian besar dari mereka di mata Syafi`i masih kekurangan visi yang cukup dan kemampuan intelektual dalam memahami jiwanya yang dinamik dan kreatif. Tetapi –sekali pun tak berhasil— perjuangan umat Islam Indonesia dalam menegakkan dasar Islam di sidang Majelis Konstituante tahun 1950-an, adalah bagian dari upaya membumikan Islam cita-cita dalam konteks politik kenegaraan sebagaimana yang dipahami wakil partai Islam.
Selain merujuk kehidupan zaman nabi, wakil partai Islam merujuk teori politik Islam sebagaimana yang digagas Jamal ad-Din al-Afghani, Abduh, Rasyid Ridha, dan lain-lain. Dari modernisme Islam yang diwariskan para pendahulu itu, wakil-wakil Islam seperti Tjokroaminoto, Agus Salim, Sukiman dan Natsir hendak membangun pilar Islam sebagai dasar negara di bumi Indonesia.
Islam adalah agama damai dan universal kekal akhir zaman. Ajarannya fleksibel dan sesuai dengan keadaan kaumnya tanpa mengubah syariah dan ketetapan hukum ‘pasti’. Dalam Islam, manusia sebagai ciptaan yang paling sempurna akan menjadi insan kamil jika dia mampu menjadi manusia yang tenang, dengan selalu mengingat Tuhannya. Ini sesuai dengan sila pertama dimana masyarakat memiliki Tuhan yang Esa yang dianutnya yang kemudian mampu melahirkan manusia-manusia yang senantiasa menciptakan keadilan dan kepedulian terhadap sekitar. Pun dengan musyawarah dan mufakat yang ada dalam demokrasi dimana setiap masyarakat berhak mengeluarkan pendaptnya. Nilai-nilai ini tertanam kuat dalam Islam jauh sebelum republik Indonesia berdiri dan Pancasila dimusyawarahkan. Maka tak ada wajah lain dalam negara Indonesia sebagai pohon keluarga sebagaimana penuturan Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi dalam “Hubungan Islam dan Negera Pancasila di Era Reformasi : Suatu Tinjauan Kritis”; pancasila sebagai anaknya dan Islam sebagai ibunya dimana demokrasi di Indonesia tidak bisa disamakan dengan demokrasi negara bebas lainnya karena Islam mempunyai aturan tersendiri.


*Disampaikan pada presentasi lomba Essay hukum Fakultas Syariah UIN Maliki Malang 12 Nopember 2012